Lelaki Dan Hitamnya - Dialog Khayal

Sebuah catatan kecil tentang hidup yang semakin tidak hidup

Breaking

Senin, 26 Februari 2018

Lelaki Dan Hitamnya



Lelaki itu masih terdiam di sudut ruangan gelap berukuran kecil yang disebut sebagai kos. Tumpukan kertas yang berisi coret-coretan telah lama tergeletak di atas lemari yang entah kapan pernah dibersihkan itu sehingga debu-debu berkoloni di atas tumpukan kertas yang warnanya tidak lagi putih itu. Terlalu lama tidak disentuh membuat huruf-huruf pada kertas itu telah lama minggat. Mereka protes karna terlalu lama didiamkan. Sebuah bentuk protes terhadap tirani kemalasan lelaki yang masih saja duduk di sudut ruangan sambil memegang gadget itu. Matahari sudah beranjak menaiki kepala orang-orang di luar, lelaki itu masih saja tidak bergerak dari pengabdiannya terhadap kemalasan. Sebuah monarki yang absolut menjajah lelaki itu. Dari semalam, tikus iseng di sudut ruangan menyaksikan lelaki itu memegang gadgetnya. Mungkin tikus iseng itu sudah menyaksikan lelaki itu bermain gadget dari jam dua belas malam. Suatu tontonan bioskop yang lama hingga tikus iseng itu bosan menonton adegan yang tidak pernah berubah tidak pernah beranjak dari semalam itu. Tikus iseng itu lebih memilih tidur daripada melanjutkan tontonan itu. “Persetan dengan flm yang mono ini!”, kata tikus iseng.
Cicak tentu tak mau melewatkan tontonan yang menarik ini. Cicak mengajak kekasih tercintanya menonton di bioskop disudut ruangan itu. Awalnya sangat romantis, namun lama-lama sang kekasih malas melihat adegan yang tak pernah berubah dari pagi itu, paling sesekali lelaki itu berdiri untuk meneguk air minum terus ia kembali ke sudut ruangan memegang gadgetnya itu. Kekasih cicak itu menguap, kemudian ia pergi. Cicak juga ikut pergi, takut nanti kalau kekasihnya dicegat cicak lain di balik loteng kos itu. “Lelaki sialan!”, umpat cicak sambil berlalu. Kemudian lengang, tak ada binatang lain yang menonton bioskop hidup itu. Tak ada, tak ada yang mau lebih bosan dan lebih malas menonton lelaki itu selain lelaki itu sendiri. Tak ada!.
Waktu sepertinya juga tidak mau menonton lelaki itu, ia berputar dengan cepat. Lelaki itu tak pernah sadar bahwa 1 bulan berlalu ia tak pernah beranjak dari tempatnya itu. Waktu tak mau mempengaruhi lelaki itu, ia malas berpaspasan apalagi bersentuhan dengan lelaki itu. “Nanti ketularan malas”, kata waktu. Waktu hanya berlalu tanpa mempedulikan lelaki itu, setiap detik setiap menit setiap jam setiap hari begitu seterusnya sampai saat ini. Lelaki itu hanya beranjak ketika kebutuhan dasar memanggilnya, makan, minum, buang air. Hanya itu tak lebih tak kurang. Lelaki itu tak pernah mandi, tapi bau busuk enggan menyapa sehingga lelaki itu memang tidak pernah berbau busuk walaupun tidak pernah mandi.
Tak jauh dari tempat lelaki itu, orang-orang sibuk berkeliaran. Ada yang berbondong-bondong memasuki ruangan, ada yang berbondong-bondong duduk di kursi panjang di depan sebuah ruangan untuk menanti seorang bapak atau ibuk yang memegang nasib mereka selama 4 tahun atau lebih, ada juga yang sendirian. Orang-orang yang duduk itu tampak memegang tumpukan kertas yang dibaluti map berwarna hijau tua dengan kertas yang di lengketkan pada kulit luar kertas hijau tua itu. Dibalik percakapan orang-orang itu, terselip harap yang semakin cemas. Lelaki itu masih saja di sudut ruangan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar