Lelaki itu masih
terdiam di sudut ruangan gelap berukuran kecil yang disebut sebagai kos. Tumpukan
kertas yang berisi coret-coretan telah lama tergeletak di atas lemari yang
entah kapan pernah dibersihkan itu sehingga debu-debu berkoloni di atas
tumpukan kertas yang warnanya tidak lagi putih itu. Terlalu lama tidak disentuh
membuat huruf-huruf pada kertas itu telah lama minggat. Mereka protes karna
terlalu lama didiamkan. Sebuah bentuk protes terhadap tirani kemalasan lelaki
yang masih saja duduk di sudut ruangan sambil memegang gadget itu. Matahari
sudah beranjak menaiki kepala orang-orang di luar, lelaki itu masih saja tidak
bergerak dari pengabdiannya terhadap kemalasan. Sebuah monarki yang absolut
menjajah lelaki itu. Dari semalam, tikus iseng di sudut ruangan menyaksikan
lelaki itu memegang gadgetnya. Mungkin tikus iseng itu sudah menyaksikan lelaki
itu bermain gadget dari jam dua belas malam. Suatu tontonan bioskop yang lama
hingga tikus iseng itu bosan menonton adegan yang tidak pernah berubah tidak
pernah beranjak dari semalam itu. Tikus iseng itu lebih memilih tidur daripada
melanjutkan tontonan itu. “Persetan dengan flm yang mono ini!”, kata tikus
iseng.
Cicak tentu tak mau
melewatkan tontonan yang menarik ini. Cicak mengajak kekasih tercintanya
menonton di bioskop disudut ruangan itu. Awalnya sangat romantis, namun
lama-lama sang kekasih malas melihat adegan yang tak pernah berubah dari pagi
itu, paling sesekali lelaki itu berdiri untuk meneguk air minum terus ia
kembali ke sudut ruangan memegang gadgetnya itu. Kekasih cicak itu menguap,
kemudian ia pergi. Cicak juga ikut pergi, takut nanti kalau kekasihnya dicegat
cicak lain di balik loteng kos itu. “Lelaki sialan!”, umpat cicak sambil
berlalu. Kemudian lengang, tak ada binatang lain yang menonton bioskop hidup
itu. Tak ada, tak ada yang mau lebih bosan dan lebih malas menonton lelaki itu
selain lelaki itu sendiri. Tak ada!.
Waktu sepertinya juga
tidak mau menonton lelaki itu, ia berputar dengan cepat. Lelaki itu tak pernah
sadar bahwa 1 bulan berlalu ia tak pernah beranjak dari tempatnya itu. Waktu tak
mau mempengaruhi lelaki itu, ia malas berpaspasan apalagi bersentuhan dengan
lelaki itu. “Nanti ketularan malas”, kata waktu. Waktu hanya berlalu tanpa
mempedulikan lelaki itu, setiap detik setiap menit setiap jam setiap hari
begitu seterusnya sampai saat ini. Lelaki itu hanya beranjak ketika kebutuhan
dasar memanggilnya, makan, minum, buang air. Hanya itu tak lebih tak kurang.
Lelaki itu tak pernah mandi, tapi bau busuk enggan menyapa sehingga lelaki itu memang
tidak pernah berbau busuk walaupun tidak pernah mandi.
Tak jauh dari tempat
lelaki itu, orang-orang sibuk berkeliaran. Ada yang berbondong-bondong memasuki
ruangan, ada yang berbondong-bondong duduk di kursi panjang di depan sebuah
ruangan untuk menanti seorang bapak atau ibuk yang memegang nasib mereka selama
4 tahun atau lebih, ada juga yang sendirian. Orang-orang yang duduk itu tampak memegang
tumpukan kertas yang dibaluti map berwarna hijau tua dengan kertas yang di
lengketkan pada kulit luar kertas hijau tua itu. Dibalik percakapan orang-orang
itu, terselip harap yang semakin cemas. Lelaki itu masih saja di sudut ruangan
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar